Rabu, 02 Desember 2009

Gerbong Kemiskinan...

Cerita ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan berjuta-juta rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam tempat ini, kita akan mengetahui bahwa banyak orang tua, orang cacat, bahkan anak kecil yang hidup dalam kemiskinan. Mereka meminta-minta, mengamen, memungut sampah, demi uang receh, mereka rela ketika tangan-tangan mereka kotor oleh sampah. Raut wajah mereka tampak menggambarkan bahwa hidup mereka tak lebih baik, jauh dibawah rata-rata.

Ditempat ini, tampak seorang anak perempuan dan adik laki-lakinya, mereka mengamen dengan wajah polos, rambut tipis mereka tampak merah, menandakan seringnya mereka terkena sinar matahari, dengan mengenakan baju seadanya, sang kakak menyanyikan lagu-lagu dangdut dari tape bututnya, sedangkan adik laki-lakinya bertugas menyodorkan plastik besar usang dan mengucapkan terima kasih ketika ada orang yang memberi mereka uang. Setengah hari dari kehidupan mereka tampaknya dihabiskan ditempat ini. Tak ada bangku sekolah untuknya, tak ada buku, tak ada masa kanak-kanak yang penuh tawa, tak ada tidur siang untuk mereka…hanya raut lelah yang terpancar dari wajah polosnya.

Ditempat ini juga, kita akan menyaksikan seorang kakek tua yang mengemis, dengan tongkat dan mangkuk kaleng berkarat, dia menyusuri tempat yang panjang dan sesak dengan manusia. Berharap kesediaan orang untuk berbaik hati memberinya sepeser uang. Mungkin ditempat lain, dengan nasib yang beruntung, seorang kakek yang sebaya dengannya, sedang menghabiskan masa tuanya dengan merawat tanaman dan hal-hal lain yang tidak perlu menghabiskan banyak tenaga.

Pedagang asongan menjajakan dagangannya, sesekali mereka mengelap keringat yang mengucur dari dahinya, urat-urat ditangan mereka tampak menonjol, yang menandakan bahwa beban yang mereka bawa tidaklah enteng.

Penumpang yang ada dalam tempat ini pun tak lebih baik dari mereka, mereka yang tadi disebut di atas. Mungkin hanya beberapa orang dalam tempat ini yang berpakaian rapi dan bersih. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang melakukan perjalanan pulang dari Jakarta, kota impian mereka. Kota yang mereka harapkan dapat membawa perubahan besar dalam hidupnya. Padahal di ibukota negara ini, mereka hanya bekerja sebagai kuli, berdagang, atau mungkin sopir angkot. Ini terlihat dari pakaian mereka yang lusuh, tas yang lusuh, dan tentu sandal yang lusuh pula.

Tempat ini tampak sesak, kotor, tapi selalu penuh dengan orang. Wajar, karena memang untuk dapat naik tempat ini, mereka tak perlu banyak mengeluarkan biaya. Bahkan mungkin ada yang naik secara gratis.

Apa yang mesti kita perbuat? Tuhan tolong kami…semua orang yang ada dalam tempat ini sepertinya menyuarakan hal yang sama. Meminta kehidupan yang lebih baik, keadaan yang lebih baik. Tapi kita patut bangga kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan, kesusahan, mereka pantang menyerah, tak ada kata lelah untuk mereka.

Inilah potret kehidupan masyarakat miskin di dunia ketiga. Jauh dari kata sejahtera. Sebuah gerbong kereta menggambarkan kehidupan miskin masyarakat Indonesia. Ini hanya sebagian kecil yang kita tahu. Entah bagaimana dengan kehidupan masyarakat di belahan lain nusantara ini, pedalaman yang tidak terjamah, masyarakat yang tinggal di bantaran kali, dipinggir rel kereta dan para penghuni rumah-rumah kardus.

Tidak ada komentar: